Belajar Tuk Mengabdi

Kita Untuk Agama dan Bangsa

KILAS BALIK HIJRAH RASULULLAH SAW

Posted by albasanto pada 24 September 2009

Refleksi Nilai-nilai Maulud Nabi dalam Bingkai Dakwah
Hijrah dan Maulid Nabi
Walaupun Nabi Muhammad SAW dilahirkan pada 12 Rabiulawwal, namun kelaziman di Indonesia hari lahir (mawlid) RasululLah diperingati dalam 3 bulan berturut-turut: Rabiulawwal, Rabiulakhir dan Jumadilawwal, yaitu dalam bulan ke-3, ke-4 dan ke-5 penanggalan Hijriyah. Bentuk peringatan itu juga bermacam-macam, seperti misalnya mulai dari bentuk membaca riwayat Nabi karya Ja’far Al Barzanji, ataupun dalam bentuk ceramah, sampai kepada diskusi-diskusi. Tidak ketatnya waktu dan bentuk peringatan itu dapat dimaklumi oleh karena dalam Al Quran memang tidak ada nash sharîh memperingati kelahiran RasululLah, demikian pula di dalam sunnah, beliau tidak pernah menyuruh ummatnya untuk aktivitas tersebut.
Walaupun tidak ada dalam Al Quran maupun dalam sunnah Nabi, kelahiran RasululLah itu diperingati juga, karena dalam Al Quran dan sabda Nabi tidak ada larangan untuk memperingati maulid. Lagi pula sesungguhnya dalam peringatan itu disampaikan pesan-pesan yang bernilai Islam. Dan itu berarti peringatan mawlid itu merupakan sub-sistem dari sistem pendidikan Islam, yaitu pendidikan informal yang termasuk dalam jenis pendidikan lingkungan. Adapun pendidikan informal itu, suatu sistem pendidikan yang tidak menuntut persyaratan formal, baik bagi yang menyampaikan pesan, maupun khalayak yang akan menerima pesan. Demikian pula tidak ada kurikulum tertentu, juga tidak mesti pada tempat yang tertentu.
Meskipun peringatan mawlid yang sifatnya informal itu tidak mempunyai kurikulum tertentu, namun biasanya ada dua tema sentral dari pesan-pesan dalam peringatan-peringatan itu. Yang pertama firman Allah:
لقد كان لكم فى رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجوا الله و اليوم الآخر و ذكر الله كثيرا.
” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. al-Ahzâb 33:21).
Dan tema yang kedua adalah dari S. Al Anbiyaa’ 157
وما أرسلنك ألاّ رحمة للعلمين.
” Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. al-Anbiyâ’ 21:107)
Sebenarnya ada tema lain yang kurang begitu diperhatikan dalam peringatan maulid ini. Rasulullah SAW pada waktu hijrah tiba di Madinah dalam bulan Rabiulawwal. Dengan demikian dilihat dari segi bulan, yaitu Rabiulawwal, mawlid Nabi tidak dapat dilepaskan dari thema hijrah. Memang seperti kita telah maklumi bersama dilihat dari segi tahun, peristiwa hijrah itu dijadikan patokan perhitungan tahun dalam sistem Penanggalan Hijriyah. Akan tetapi RasululLah pada waktu hijrah tidaklah sampai di Madinah dalam bulan Muharram, melainkan dalam bulan Rabiulawwal, tepatnya tanggal 12 Rabi’ulawwal.
Dalam menyambut maulid Nabi SAW, maka isi tulisan ini mengambil thema hijrah. Hijrah adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam da’wah risalah (message) RasululLah SAW. Perjuangan Nabi SAW untuk menegakkan kebenaran, membawa risalah, berlangsung dalam dua tahap, yaitu tahap Makkiyah dan tahap Madaniyah. Dalam tahap yang pertama yaitu di Makkah, adalah tahap pembinaan aqiedah, pembinaan pribadi Muslim. Ayat-ayat Al Quran yang diturunkan di Makkah, yang disebut dengan ayat-ayat Makkiyah, kalimatnya pendek-pendek berisikan materi keimanan. Dalam periode Makkah ini ummat Islam menjadi maf’ulun bih, obyek, bulan-bulanan. Yaitu ummat Islam hidup dalam suasana lingkungan yang penuh tekanan, siksaan dan terror. Keadaan lingkungan yang demikian itu ibarat palu godam yang menempa pribadi-pribadi Muslim di Makkah itu menjadi mantap aqiedahnya, tahan uji, tahan derita, bermental baja. Ujian akhir pembinaan aqiedah itu terlaksana 20 bulan sebelum hijrah, yaitu peristiwa Isra-Mi’raj RasululLah SAW. Keimanan ummat Islam di Makkah diuji, percaya atau tidak, beriman atau kafir terhadap peristiwa itu. Maka terjadilah kristalisasi ummat Islam. Ada yang lulus dalam ujian keimanan ini, tetapi tidak kurang pula kembali menjadi kafir. Ummat Islam secara kwantitas menurun, namun secara kwalitas meningkat. Mereka inilah yang menjadi kaum Muhajirin, orang-orang berhijrah, 20 bulan kemudian.
Sebab-sebab Hijrah Kaum Muslim
Peristiwa hijrah merupakan titik balik perjuangan RasululLah dan ummat Islam. Yaitu dari keadaan yang maf’ulun bih, obyek, di Makkah berbalik menjadi faa’il, subyek, pelaku di Madienah. Kaum Anshar di Madinah bersama-sama dengan kaum Muhajirin yang dari Makkah membina masyarakat dan Negara Islam di Madinah. Ayat-ayat Al Quran yang diturunkan di Madinah, yang disebut dengan ayat-ayat Madaniyah, kalimatnya panjang-panjang dan berisikan pedoman-pedoman tentang kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Keberhasilan Islam dalam mendirikan sebuah negara di tengah gurun yang penuh dengan kekufuran dan kebodohan merupakan hasil terpenting semenjak Islam memulai dakwahnya. Kaum meslimin dari mana-mana saling mengajak untuk berhijrah ke Yatsrib (Madinah). Hijrahnya mereka bukan semata-mata untukmejauhkan diri dari gangguan dan ejekan kaum musyrikin Quraisy, tetapi sekaligus merupakan usaha bersama untuk mendirikan masyarakat baru di daerah yang aman.
Dalam mewujudkan tanah air baru bagi Islam, setiap muslim yang memenuhi syarat diwajibkan berperan serta dan berusaha sekuat tenaga untuk memperkokoh kedudukan dan mempertinggi kewibawaannya. Dengan demikian, hidup di Madinah pada masa itu dipandang sebagai kewajiban agama, karena tegaknya agama Islam tergantung pada kokohnya kedudukan kota tersebut.
Kaum muslimin selalu berpegang tegung kepada risalah yang mereka yakini, yang sang penyampainya, Muhammad SAW, tidak pernah berhenti mengajak manusia ke jalan Allah. Mengenai hal itu AL-Qur’an menerangkan:
“Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Q.S. Yusuf 10:108)
Tatanan masyarakat yang diidealkan oleh para filosof dan telah diuraikan dalam banyak buku masih belum banyak menandingi tatanan masyarakat yang hendak diwujudkan oleh kaum Muhajirin dan Anshor. Mereka membuktikan bahwa keyakinan yang mantap telah menjadikan mereka setara dengan malaikat dalam hal kemurnian hati.
Dengan seizin Rasulullah SAW, kaum muslimin dari Mekah dan berbagai daerah lainnya berbondong-bondong hijrah ke Madinah dengan keyakinan dan kepercayaan diri yang mantap.

Ujian dalam Hijrah
Hijrah bukanlah perpindahan tempat tugas seorang pegawai dari satu tempat ke tempat lain yang lebih jaun dan bukan pula perpindahan seorang pencari nafkah dari daerah gersang ke daerah subur. Hijrah yang dilakukan kaum muslimin ketika itu ialah pindahnya orang-orang yang telah hidup lama di tempat kelahirannya, untuk meninggalkan kepentingan pribadi dan kekayaannya, menuju suatu tempat dengan hati yang ikhlas. Mereka menyadari bahwa di tengah jalan mungkin mereka akan dirampok atau ditodong , bahkan direnggut nyawanya. Kecuali itu, hari depan yang mereka dambakan pun belum dapat dibayangkan dengan jelas. Demikian pula dengan kesukaran dan penderitaan yang akan mereka alami diperantauan. Sekiranya hijrah itu boleh disebut “petualangan,”tentu orang akan mengatakan: “Sungguh suatu petualangan yang nekad!.” Betapa tidak, mereka berangkat menempuh perjalanan jauh membelah gurun sahara membawa anak isteri dengan perasaan rela dan hati gembira.
Akan tetapi iman yang sebesar gunung tak mungkin goyah. Iman kepada siapa? Iman kepada Allah pencipta langit dan bumi, Dzat yang berhak dipuji dan disyukuri oleh segenap hamba-Nya di dunia dan di akhirat. Dialah Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.
Kesulitan sedemikian itu tidak akan dapat dipikul kecuali oleh orang-orang yang sungguh-sungguh beriman. Seorang penakut tidak akan sanggup memikul kesulitan seperti itu. Orang yang demikian itu termasuk mereka yang oleh Allah SWT disebut dalam firman-Nya:
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).” (Q.S. al-Nisâ’ 4:66)
Orang-orang yang berhimpun disekeliling Rasulullah SAW di Mekah adalah orang-orang yang telah menyerap sinar hidayat, dan senantiasa membela kebenaran dengan hati yang tabah dan sabar. Mereka dengan lapang dada segera meninggalkan kampung halaman setelah mendapat aba-aba untuk berhijrah ke tempat di mana mereka akan dapat memperkuat agama Islam dan meyakini hari depannya yang cerah.
Di antara orang-orang yang dini berhijrah ke Madinah ialah Abu Salmah, isterinya dan anaklelakinya. Ketika mereka sudah bertekad bulat untuk meninggalkan Mekah, sanak saudaranya dari pihak isterinya menahan isterinya dan berkata: “Jadi kau akan pergi dengan menelantarkan kami? Kami tidak akan membiarkanmu pergi membawa isterimu ke perantauan!”
Akhirnya Salmah berangkat seorang diri ke Madinah bersama anak laki-lakinya. Setahun lamanya, sejak berpisah dengan suami dan anaknya, isteri Abu Salmah selalu menangis. Salah seorang kerabatnya merasa kasihan dan meminta kepada sanak saudaranya agar tidak lagi mengurung isteri Abu Salmah. Akhirnya mereka memperbolehkan isteri Abu Salmah untuk menyusul suaminya ke Madinah.
Demikian pula ketika Shuhaib berhijrah ke Madinah, orang-orang Quraisy berkata kepadanya:
“Dulu kau adalah seorang gelandangan, kemudian di tengah-tengah kami kau menjadi seorang yang berharta dan dapat meraih apa yang kau inginkan. Kini kau hendak pergi membawa hartamu. Tidak, itu tidak boleh terjadi!”
Shuhaib balik bertanya: “Apakah kalau semua harta kekayaanku ku serahkan kepada kalian, kalian akan membiarkan aku pergi?”
“Ya, tentu!” Sahut mereka.
“Kalau begitu, sekarang juga seluruh harta kekayaanku kuserahkan kepada kalian.”
Ia melaporkan peristiwa itu kepada Rasulullah SAW. Beliau menanggapinya dengan ucapan: Shuhaib mendapat laba.”
Demikianlah cara kaum muslimin meninggalkan Mekahada yang berangkat dalam bentuk rombongan dan ada pula yang berangkat secara perorangan, sehingga Mekah hampir kosong dari orang-orang yang memeluk agama Islam. Kaum musyrikin Quraisy merasa bahwa agama Islam sekarang telah memiliki daerah dan perbentengan sendiri yang sanggup melindungi keselamatan. Mereka takut mengahadapi tahapan penting dari proses dakwah risalah Muhammad SAW.
Ketika itu Muhammad Rasulullah SAWmasih berada di Mekah. Bisa atau tidak beliau harus menyusul para sahabatnya, entah hari ini, entah esok. Beliau harus bersiap-siap sebelum datang gilirannya.

Hijrah Rasulullah
Ketika Rasulullah SAW telah bertekad bulat untuk meninggalkan Mekah menuju Madinah, turunlah ayat firman Allah sebagai berikut:
و قل ربّ أدخلنى مدخل صدق و أخرجنى مخرج صدق و اجعل لى من لدنك سلطنا نصيرا.
“Dan katakanlah: “Ya Tuhan-ku, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (Q.S. al-Isrâ’ 17:80)
Tidak ada yang mengetahui siapa yang lebih berhak mendapat pertolongan dari Allah selain Rasulullah SAW. Walaupun demikian, kelayakannya mendapat bantuan Allah tidak membuat beliau ceroboh terhadap suatu tindakan dan akibatnya.
Beliau dengan teliti dan cermat merencanakan langkah-langkah pengamanan, baik bagi hijrah beliau sendiri maupun bagi rombongan lainnya. Menurut perhitungan beliau sendiri, beliau tidak akan meninggalkan suatu tempat tanpa alasan yang jelas. Sedah menjadi sifat beliau untuk mempertimbangkan sebab akibat dalam upaya meraih keberhasilan. Setelah itu, barulah beliau bertawakkal kepada Allah, sebab segala sesuatu tak mungkin terlaksana tanpa kehendak-Nya.
Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah berlangsung secara wajar. Sebelumnya beliau minta kepada Ali bin Abi Thalib r.a. dan Abu Bakar ash-Shiddiq supaya tetap tinggal bersama beliau, sedangkan kaum muslimin yang lainberangkat lebih dahulu ke Madinah. Ketika Abu bakar ash-Shiddiq r.a. meminta izin kepada Rasulullah SAW hendak berangkat hijrah, beliau menjawab:
“Jangan tergesa-gesa mungkin Allah akan memberikan kepadamu seorang sahabat.”
Abu Bakar merasa bahwa yang beliau maksudkan dengan seorang sahabat adalah beliau sendiri. Karena itu, ia lalu membeli dua ekor unta, disembunyikan di dalam rumahnya dan diberi makan secukupnya sebagai persiapan kendaraan untuk berangkat berhijrah. Mengenai Ali bin Abi Thalib r.a., Rasulullah telah mempersiapkannya untuk memainkan peranan khusus dalam medan-medan bahaya.
Sebagaimana telah diketahui, Rasulullah SAW merahasiakan keberangkatannya sehingga tak ada orang lain yang mengetahui kecuali beberapa orang dekatnya. Lagi pula beliau tidak memberitahukan seluruhnya kecuali hal yang penting-penting saja. Belau juga mengupah seorang pemandu yang sudah sangat mengenal gurun sahara untuk dimanfaatkan pengalamannya dalam usaha menghindari pengejaran.
Disamping keluesan beliau dalam menyusun rencana perjalanan, beliau juga membayar harga unta yang dikendarainya. Beliau tidak mau membiarkan Abu Bakar secara sukarela membayar harga dua ekor unta, karena beliau sadar bahwa perjalanan hijrah itu merupakan bagian dari ibadah yang harus dilaksanakan sebaik-baiknya dan jangan sampai dipenuhi syarat-syaratnya oleh orang lain.
Rasulullah telah bersepakat dengan Abu Bakar mengenai rincian perjalanan yang akan mereka tempuh. Mereka berdua memilih gua untuk persembunyian mereka – yaitu gua di sebelah selatan yang menghadap ke Yaman – guna mengecoh para pengejarnya. Mereka jug amenetapkan beberapa orang yang perlu mereka hubungi selama berada di tempat persembunyian.. goa yang dimaksud adalah Gua Tsur, yang di dalamnya itulah risalah terakhir terlindungi oleh kesunyian, keterasingan dan keterpencilannya.

Era Baru Telah Dimulai
Sebelum tiba di Madinah, berita tentang keberangkatannya bersama Abu Bakar r.a. telah tersiar ke Madinah. Setiap pagi penduduk kota itu banyak yang keluar rumah sambil memandang ke arah akan datangnya manusia besar. Bila terik matahari terasa membakar, mereka kembali pulang ke rumah masing-masing dengan tetap memendam harapan mereka.
Pada tangga 12 Rabi’ulawwal, sebagaimana biasa, kaum Anshar banyak berkerumun di pinggiran kota Madinah menunggu-nunggu kedatangan beliau. Pada saat tengah hari di saat udara sedang panas-panasnya, ketika mereka hampir putus harapan dan hendak pulang ke rumah masing-masing, seorang Yahudi yang sedang naik ke atap rumahnya untuk suatu keperluan tiba-tiba melihat kepulan debu mendekati kota. Ia berteriak dengan suara keras:
“Hai Bani Qailah, itulah dia sahabat kalian telah tiba, itulah dia datuk kalian yang sedang kalian tunggu-tunggu kedatangannya!”
mendengar teriakan itu, kaum Anshar, dengan membawa senjatanya masing-masing, bergegas menjemput Rasulullah SAW. Kedatangan beliau di sambut dengan suara takbir yang mengumandang di seluruh kota Madinah. Hari itu Madinah benar-benar dalam suasana suka cita yang teramat sangat.
Satu hal yang cukup menarik adalah bahwa penduduk Madinah pada umumnya belum pernah melihat Rasulullah SAW. Sehingga pada waktu beliau dating , mereka tidak dapat membedakan mana Abu Bakar r.a. dan mana Muhammad SAW.
Demikianlah Rasulullah SAW dan kaum muslimin terdahulu menapaki haru biru perjalanan hijrah mereka. Mereka rela meninggalkan kota yang mereka cintai, harta dan karib kerabat mereka demi kesuburan aqidah yang telah tertanam di relung hati mereka. Sebagaimana seorang yang memiliki akidah tentu akan berperlaku sesuai akidahnya, dan merasa tenang bila akibahnya terjamin ketenteraamannya. Orang menggantungkan kebahagiaan kepada sesuatu yang menjadi idaman dan cita-citanya. Mereka melihat dunia berdasarkan perasaan dan pikiran yang mengendap di dalam jiwa mereka. Orang-orang berharap memperoleh kepemimpinan akan merasa puas atau kecewa, menjadi giat atau malas tergantung pada jauh atau dekatnya harapan tersebut.
Seseorang dengan kemampuan yang dimilikinya, memang berhak untuk memperoleh kedudukan tinggi.akan tetapi keinginan untuk memperoleh keduniaan dengan cara yang sangat bernafsu itu, hasilnya tergantung pada kehendak Allah SWT sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an:
“Barangsiapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang kami kehendaki bagi orang yang kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir.” (Q.S. al-Isrâ’ 17:18)
Ada orang yang memuja kecantikan sehingga ia mengejar-ngejar wanita, dan ia merasa puas begitu ia bisa bersanding dengan pujaannya, kemudian setelah itu ia menjadi tenang dan tenteram.
Ada juga seseorang yang mengejar-ngejar harta kekayaan sehingga seluruh waktunya, siang-malam, dihabiskan untuk melihat angka-angka di dalam buku catatannya, menghitung berapa banyak yang sudah berada di tangannya dan menaksir seberapa banyak yang akan diperolehnya lagi. Bahkan barangkali ia akan lupa makan dan minum karena tengelam di dalam naluti ingin menguasai kekayaan sebanyak-banyaknya hingga tertutuplah semua pintu hatinya.
Di samping jenis manusia seperti tersebut di atas, kita masih dapat menemukan jenis lain, yaitu orang-orang yang tidak henti-hentinya memberikan pelayanan dan memelihara kemashlahatan umum. Mereka menghabiskan seluruh hidupnya untuk menegakkan kebajikan yang telah merasuk ke dalam kalbunya. Ia tidak akan tidur nyenyak jika belum menunaikan kewajibannya. Kesenangan terbesar baginya ialah kesempurnaan, dan kebahagiaan yang lebih besar adalah bila ia mampu memperolehnya.
Para nabi dan rasul telah disumpah untuk melaksanakan tanggung jawab dan kepercayaan yang telah diamanatkan kepada mereka. Kemenangan dan kekalahan mereka, persahabatan dan permusuhan mereka, semua itu semata-mata diabdikan kepada nilai-nilai moril yang menjadi tujuan hidup mereka.

Penutup
Demikian kilas balik perjalanan Rasulullah SAW dan kaum muslim dalam hijrah ke Madinah. sebuah fase baru dan penting dalam dakwah yang mulaiberkonsentrasi pada kehidupan sosial (mu’amalah), baik dalam lingkup keluarga kecil (rumah tangga), maupun dalam lingkup keluarga besar (negara dan bangsa).
Hijrah Rasulullah SAW dan kaum muslim ini menyisakan sejuta nilai ideal dalam kehidupan. nilai-nilai tersebut tersebut terangkum semuanya ke dalam dua ayat al-Qur’an yang biasanya menjadi tema sentral dalam kajian Maulid Nabi, yakni
1. Suri tauladan Rasulullah SAW. ” Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. al-Ahzâb 33:21).
2. Rahmatan lil ‘alamin. ” Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Q.S. al-Anbiyâ’ 21:107)
Berikut ini akan kami petakan nilai-nilai luhur tersebut dalam beberapa poin-poin dakwah Islamiyah:
1. Al-Bannâ’ (membangun), yakni dakwah yang dilakukan harus bersifat membangun, membangun individu, masyarakat dan negara.
2. Al-Rabbâniyyah (ketuhanan). yakni dakwah ini hanya semata-mata ditujukan sebagai pengabdian kepada Allah, bukan untuk hal-hal lain, apalagi keduniaan.
3. Al-Ukhûwwah (Persaudaraan). yakni dakwah bertujuan menggalang persatuasn dan kesatuan umat untuk berjalan di bawah panji-panji Allah.
4. Al-Jihâd wa al-Kifâh (Jihad dan optimalisasi beragama). dengan maksud tidak ada jalan dakwah yang tidak memiliki halangan dan rintangan, namun halangan dan rintangan tersebut harus dilalui dengan kerja yang sungguh-sungguh dan menyeluruh (all out).

Tinggalkan komentar